Beranda | Artikel
Tidak Hanya Menahan Makan
Sabtu, 10 Juli 2010

Bulan Ramadhan tak lama lagi menghampiri, jika umur kita masih diberi. Banyak orang bergembira, bukan karena ibadah yang agung ini -yaitu puasa Ramadhan- begitu istimewa di sisi Allah ta’ala, namun karena sebab lain yang tak semestinya.

Ada yang bergembira karena di bulan puasa mereka bisa menikmati berbagai sajian spesial menu makanan yang tak biasanya mereka rasakan di bulan lainnya. Ada yang bergembira karena di bulan puasa mereka bisa bertemu dengan ‘mbak-mbak’ tatkala jalan-jalan pagi sepulang dari kultum subuh. Ada yang bergembira karena di bulan puasa mereka bisa menikmati ‘tidur siang’ sepuas-puasnya selepas makan sahur hingga kumandang adzan zhuhur mengangkasa. Ada pula yang merasa senang karena di bulan ini mereka bisa menyimak berbagai sajian musik islami [?] di radio ataupun televisi untuk melembutkan hati [?!]. Nah, fenomena semacam ini tentu tidak pas dengan hikmah agung dari ibadah puasa, apalagi jika hal itu terjadi pada kalangan pemuda atau santri yang sudah pernah ‘mencium aroma’ kitab para ulama.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa adalah perisai. Oleh sebab itu janganlah berbicara jorok, jangan berbuat dungu. Kalau ada orang lain yang memeranginya atau mencaci-maki dirinya katakanlah padanya, ‘Aku sedang puasa’. Dua kali…” (HR. Bukhari dan Muslim, ini lafal Bukhari, lihat Fath al-Bari [4/122-123], Syarh Muslim [4/481-484]). al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Perisai maknanya penghalang/pelindung, yaitu sebagaimana yang diajarkan dalam syari’at. Oleh sebab itu seorang yang berpuasa semestinya melindungi puasanya dari hal-hal yang akan merusakkan/membatalkannya atau mengurangi pahalanya…” (lihat Fath al-Bari [4/123], lihat juga penjelasan an-Nawawi dalam Syarh Muslim [4/483]). Sebagian ulama menafsirkan perisai dalam hadits ini sebagai pelindung dari neraka. Ibnul ‘Arabi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya puasa itu menjadi perisai dari neraka karena ia mengandung penahanan diri dari melampiaskan syahwat. Sementara neraka itu diliputi oleh perkara-perkara yang disenangi oleh syahwat. Kesimpulannya, apabila seseorang -yang berpuasa- itu menahan dirinya dari melampiaskan syahwatnya -tanpa kendali- di dunia maka hal itulah yang akan menjadi penghalang/pelindung baginya kelak di akherat.” (dikutip oleh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari [4/123]).

Penafsiran ini tepat sekali sebagaimana ditunjukkan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Puasa adalah perisai, yang dengannya seorang hamba melindungi dirinya dari api neraka.” (HR. Ahmad, disahihkan oleh penyusun Sifat Shaum Nabi fi Ramadhan, lihat hal. 12-13 dari kitab tersebut). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Neraka diliputi oleh hal-hal yang disenangi oleh hawa nafsu sedangkan surga diliputi oleh hal-hal yang tidak disukai oleh hawa nafsu.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Fath al-Bari [11/362], Syarh Muslim [9/101])

an-Nawawi rahimahullah menerangkan bahwa yang dimaksud dengan hal-hal yang tidak disukai -oleh hawa nafsu- itu contohnya adalah bersungguh-sungguh dalam ibadah dan terus menerus dalam melakukannya, bersabar dalam melalui kesulitan yang ada padanya, menahan luapan marah,  memaafkan, tidak mudah emosi, bersedekah, berbuat baik kepada orang yang berlaku buruk padanya, menahan diri dari mengumbar syahwat dan lain sebagainya. Adapun syahwat/keinginan nafsu yang meliputi neraka itu maksudnya adalah keinginan-keinginan yang diharamkan seperti minum khamr, berzina, memandang kepada perempuan lain -yaitu bukan mahram-, menggunjing, memainkan alat-alat musik dan lain sebagainya (lihat Syarh Muslim [9/101]). Pernyataan seorang pemuka madzhab Syafi’i ini sungguh indah, adakah di antara para pendaku madzhab Syafi’i yang mendengarkannya?

Maka, jelaslah bagi kita bahwa bulan puasa bukan semata-mata bulan menahan diri dari makan dan minum. Hanya saja ada satu hal yang perlu digarisbawahi di sini pula, bahwa termasuk yang semestinya dijauhi oleh seorang muslim di bulan puasa, demikian pula di bulan-bulan lainnya adalah bunyi-bunyian alat-alat musik, sebagaimana disinggung oleh an-Nawawi, semoga Allah merahmati beliau. Bahkan, Majid al-Hamawi dalam catatan kakinya terhadap matan Abu Syuja’ yang merupakan kitab fiqih dasar dalam madzhab Syafi’i mengkategorikan alat-alat musik sebagai barang yang tidak bermanfaat sama sekali, sehingga tidak sah untuk dijadikan objek transaksi jual-beli!! (lihat Matn al-Ghayah wa at-Taqrib, hal. 153)

Cukuplah bagi kita sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Benar-benar akan muncul di antara umatku ini masyarakat-masyarakat yang menghalalkan -dengan perbuatannya, pent- kemaluan -yaitu zina-, kain sutera -untuk lelaki-, khamr, dan ma’azif/alat-alat musik.” (HR. Bukhari secara mu’allaq dengan nada tegas dan dijadikannya sebagai hujjah, lihat Shahih Bukhari, hal. 1178). Hadits ini disahihkan oleh para pakar hadits di antaranya Imam Ibnu ash-Shalah, Ibnu Katsir, Syaikh Ahmad Muhammad Syakir –rahimahumullah- dan mereka telah membantah kekeliruan Ibnu Hazm –ghafarahullah– yang menolak hadits ini (lihat al-Ba’its al-Hatsis, hal. 44).

Ibnul Qayyim rahimahullah -sedangkan beliau ini sangat dieluk-elukkan oleh sebagian tokoh pergerakan sebagai ulama pakar masalah hati, dan itulah kenyataannya- berkata, “..al-Ma’azif itu tidak lain mencakup segala macam alat musik, tiada perselisihan di antara pakar bahasa tentangnya. Seandainya itu adalah halal, niscaya Nabi tidak akan mencela mereka karena ‘penghalalan’ yang mereka perbuat, dan juga Nabi tidak akan mengiringkan penghalalannya dengan penghalalan khamr dan zina/sutera…” (lihat Ighotsat al-Lahfan, hal. 333).

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu bahkan mengatakan, “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan di dalam hati.” Ibnul Qayyim menjelaskan, riwayat ini shahih berasal dari Ibnu Mas’ud (Ighotsat al-Lahfan, hal. 318). Para ulama juga menjelaskan bahwa perkataan para sahabat itu bisa menjadi hujjah jika tidak menyelisihi dalil dan tidak diingkari oleh para Sahabat yang lain (lihat Jam’u al-Mahshul karya Syaikh Abdullah al-Fauzan, hal. 135). Kalau nyanyian saja -tanpa bumbu alat musik- sudah sedemikian buruk dampaknya, lalu bagaimana lagi dengan nyanyian full-music yang didendangkan dengan suara mendayu-dayu oleh para wanita yang tak punya malu [?!] La haula wa la quwwata illa billah… Ini di bulan puasa, bagaimana lagi di luar bulan puasa…. Inikah potret masyarakat yang lebih adil dan sejahtera? Subhanallah….

Kalau masih ada yang ‘ngotot’ mempertahankan pendapat Ibnu Hazm yang keliru tersebut, maka sekarang silahkan mereka juga mengikuti pendapatnya -dalam hal puasa- yang mengatakan bahwa segala macam maksiat membatalkan puasa! (lihat Fath al-Bari [4/123]). “Ah, kalian ini sukanya meributkan masalah-masalah furu’/cabang. Tuh.., lihat musuh di hadapan kita, kalian hanya sibuk cela sana cela sini!” Itu sebagian komentar miring yang sering muncul ketika nasehat-nasehat semacam ini diangkat. Mungkin mereka lupa kalau nasehat itu adalah bukti rasa cinta.

Maka kami katakan –wabillahit taufiq was sadad-: Saudaraku, manakah yang lebih paham terhadap agama ini; para Sahabat ataukah kita? Kalau kamu menjawab para Sahabat lebih paham, maka sekarang tanyakanlah kepada dirimu dimanakah letak kunci kebaikan umat ini, bukankah di dalam hatinya? Kamu tentu akan menjawab; benar! Kita juga pasti pernah mendengar firman Allah ta’ala (yang artinya), “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.” (QS. ar-Ra’d: 11). Kita pun pernah mendengar kaidah para ulama al-khuruj minal khilaf aula; keluar dari perselisihan itu merupakan sikap yang lebih utama –itupun kalau khilafnya mu’tabar-. Lalu bagaimanakah cara melepaskan diri dari khilaf ini kalau bukan dengan meninggalkan musik dengan segala corak dan alirannya?! Jawablah dengan nuranimu..!


Artikel asli: http://abumushlih.com/tidak-hanya-menahan-makan.html/